BAROKAH POLITIC’S INSTITUTE
(Refleksi atas dialog singkat ‘HTI’ dan ‘KAMMI’)
Oleh: Syamsudin Kadir
Akhir-akhir ini medan amal bahkan dunia Islam dipenuhi dan dihidupkan oleh banyak Harokah dan Ormas Islam. Pada awalnya saya termasuk orang yang antipati dengan fenomena ini. Mengapa? Mungkin di antara pembaca--termasuk kader KAMMI yang berpikiran seperti saya--memiliki alasan yang sama. Ketika melihat fenomena muncul dan beragamnya Harokah dan Ormas Islam saya selalu mengaitkan dengan hadits yang menjelaskan bahwa Yahudi itu terbagi ke 71 golongan salah satunya masuk surga, nasrani terbagi ke 72 golongan salah satunya masuk surga dan umat Islam terbagi ke 73 golongan salah satunya masuk surga.
Saya selalu berpikiran dan bertanya seperti ini, “Kalau umat Islam terbagi menjadi 73 golongan dan yang masuk surga hanya salah satunya, maka siapakah atau golongan manakah yang masuk surga itu? Apakah semua manusia--umat Islam--yang terlibat dalam Harokah dan Ormas yang ada semuanya masuk surga? Apakah Harokah dan Ormas Islam yang ada termasuk golongan yang ke dalam surga sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat tersebut?” Entahlah, dalam beberapa waktu pun saya belum menemukan jawaban yang tepat. Walaupun secara pribadi saya tetap mencari berbagai sumber shahih yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk menjawab kebingungan tersebut.
Di sisi lain, sebetulnya saya juga mengapresiasi munculnya berbagai Harokah dan Ormas Islam dalam komunitas umat Islam. Hal ini merupakan fenomena yang sangat menggembirakan, dan menunjukkan bahwa potensi umat semakin terkristalisasi dalam membangun jati diri komunitas muslim. Keragaman Harokah dan juga Ormas Islam, khususnya dalam bidang garapan, juga menjadi mekanisme efektif bagi proses pengayaan wawasan dan pengalaman. Hal tersebut pada gilirannya, akan mempercepat proses pendewasaan setiap Harokah dan Ormas Islam itu sendiri.
Sebagai upaya menemukan jawaban yang tepat atas berbagai pertanyaan seperti yang saya sampaikan di awal tadi, saya pun terus menerus mencari jawaban dari berbagai tokoh yang berkecimpung dalam Harokah dan Ormas Islam yang ada. Selain itu, saya juga memaksakan diri untuk membaca semua buku-buku yang dituliskan oleh tokoh-tokoh Harokah dan Ormas Islam dari berbagai latar pembahasan dan penerbitan. Alhamdulillah, aktivitas tersebut tetap saya tunaikan sampai sekarang. Di samping itu, saya juga membuka Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai upaya menemukan jawaban atas semua pertanyaan dan kebingungan yang melintasi pikiran saya. Mungkin apa yang saya alami ini dirasakan juga oleh kebanyakan kader KAMMI yang konon dikenal “nakal” dalam memahami Harokah dan Ormas Islam.
Sebagai upaya membagi sekaligus mencari jawaban--apa yang saya sebut--kebingungan tersebut, akhirnya saya pun selalu memberanaikan diri untuk hadir di setiap agenda KAMMI, baik seminar, dialog, madrasah, training maupun semua agenda lain KAMMI yang sempat saya hadiri; baik sebagai peserta maupun sebagai panelis atau pemateri. Salah satunya pada agenda Politic’s Institute KAMMI UPI pada hari/tanggal: Sabtu/6 Maret 2010.
Sebagai informasi, Politic’s Institute merupakan formulasi atau semacam metamorfosa dari Madrasah KAMMI yang sebelumnya--di KAMMI UPI--diformat dalam bentuk Sekolah Politik. Namun karena kondisi tertentu dan beberapa gagasan baru muncul, akhirnya nama Sekolah Politik pun diganti menjadi Politic’s Institute. Bagi saya ini kemajuan yang sangat baik bagi KAMMI. Bahkan saya berani mengatakan bahwa Komisariat yang paling progresif di KAMMI Daerah Bandung yang berada di bawah koordinasi KAMMI Wilayah Jawa Barat adalah KAMMI Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). [Semoga keluarga besar KAMMI UPI istiqomah, dan bisa menjadi inspirator gerakan pemuda dan mahasiswa Islam negeri ini!]
Ceritanya begini. Saat itu hari Sabtu, 6 Maret 2010, saya mendapatkan amanah untuk mengisi acara--sebagai pemateri--di Politic’s Institute KAMMI UPI, materi Paradigma Politik Islam dengan tema, “Benarkah selamanya politik itu busuk?”. Acara yang pada awalnya hanya 2 jam tersebut [dari pukul 13.00-15.00 WIB] menjadi bertambah jam. [Dilanjutkan dari pukul 16.00-17.30 WIB]. Sehingga agenda hari itu menjadi 3 setengah jam.
Setelah mengucapkan, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barokatuh”, sayapun langsung menjelaskan secara singkat materi yang diamanahkan kepada saya. Sebagai penambah hangatnya diskusi waktu itu, saya juga menyusun makalah sebanyak 6 lembar (11 halaman). Makalahnya saya beri judul “Menelisik Identitas Politik Islam (Membumikan Ideologi, Menginspirasi Indonesia). Judul ini sebetulnya “nulis ulang” tagline buku baru KAMMI--di mana saya diamanahkan oleh Muda Cendekia untuk memberi kata pengantar [judul kata pengantar bukunya, “Karena Mereka Elang Muda]--yang berjudul “Mengapa Aku Mencintai KAMMI” dengan tagline “Membumikan Ideologi Menginspirasi Indonesia.” Selain sebagai publikasi, sebetulnya--memang, lebih tepat--karena apa yang dibicarakan adalah upaya tindak lanjut bukti kecintaan saya terhadap KAMMI, dan juga kader-kadernya yang sudah 12 tahun membumikan ideologi gerakannya dalam kontek menginspirasi Indonesia untuk bangkit, menemukan takdir kejayaannya. Baik sebagai Negara muslim terbesar maupun sebagai salah satu Negara berkembang.
Di awal materi saya menyampaikan prolog [KAMMI adalah gerakan pemuda dan mahasiswa Islam yang memformulasikan diri sebagai gerakan perubahan. Dalam kontek ini KAMMI menjadikan wahyu sebagai titik pijak nalarnya. Karena itu, KAMMI dengan “gagahnya” mengusung gerakan intelektual profetik sebagai salah satu paradigma gerakannya; sebuah gerakan yang berusaha menurunkan nilai-nilai Islam dalam tataran praksis gerakan. Hal ini menjadi sebuah spirit bagaimana KAMMI mengembangkan gerakan intelektual dan melahirkan produk-produk intelektual. KAMMI sudah membuka diri terhadap berbagai gagasan dan pemikiran dari luar format internalnya. Mungkin inilah titik mula terjadinya moderasi intelektual di KAMMI.
Sebagai entitas gerakan perubahan, maka peran KAMMI dalam setiap momentum perubahan merupakan tantangan dan sekaligus tanggung jawab KAMMI. Hal ini menjadi bentuk gerakan politik KAMMI. KAMMI juga merupakan entitas kolektif mahasiswa, karena itu gerakan politik yang diambil KAMMI adalah gerakan politik moral. Namun gerakan politik moral yang KAMMI tunaikan berbasis intelektual atau gagasan.
Karena itu, kegiatan ini hadir sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab intelektual tersebut. Keberanian menawarkan agenda bahkan menorehkan gagasan merupakan salah satu ciri masyarakat intelektul (pembelajar). Sebagai manusia biasa di KAMMI, terutama sebagai muslim, saya layak memberikan penghargaan yang tinggi bagi siapapun yang telah berupaya untuk mewujudkan kegiatan ini menjadi kenyataan. Lebih lanjut, tulisan ini mungkin saja mengandung kecacatan, karenanya hendaklah bagi siapapun yang menginginkan perbaikan--bukan saja tulisan tapi juga--isinya untuk mengoreksinya. Hal ini merupakan salah satu upaya kita dalam membangun kolektivitas umat dengan kekayaan ilmu, daya kritis dan cita-cita besar. Selanjutnya, selamat berdiskusi!], kemudian dilanjutkan dengan inti materi. Yang saya sampaikan adalah seputar defenisi dan makna politik, konsepsi politik [kesadaran politik, partisipasi politik dan kepribadian politik], politik dan dakwah, menformulasi trend politik Islam dan lain-lain. Lebih lanjut, saya juga menyampaikan beberapa pernyataan dan pertanyaan yang menurut saya membuat sebagian peserta yang ada pada saat itu jadi kagetan.
“Teman-teman sekalian, defenisi politik sangat banyak, dan referensi yang menjelaskan itu semua juga banyak. Karena itu, silahkan teman-teman sendiri yang mencari apa defenisinya. Namun demikian, kendati banyak ragam defenisi politik dan kiprah manusia secara individu dan kelompok dikemukakan para ahli, esensi yang terkandung dalam defenisi-defenisi dan kiprah politik manusia tetap menekankan unsur-unsur upaya manusia dalam mewujudkan kemaslahatan bersama, terutama yang menyangkut kemakmuran dan ketentraman. Setiap aktivitas, upaya dan perjuangan individu atau kelompok manusia tersebut secara umum dikategorikan sebagai tindakan politik dalam arti luas.”
“Teman-teman sekalian, untuk mengurus urusan publik secara praktis dibutuhkan institusi yang memiliki kewenangan luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Dan salah satu institusi yang berwenang secara luas dan berkedaulatan penuh adalah negara. Dalam konteks proposal peradaban baru yang islami, dengan institusi, umat Islam sebagai lokomotif penggerak dakwah Islam, mempunyai kekuatan dan dukungan kekuasaan untuk merealisasikan Islam dalam kehidupan publik secara menyeluruh.”
“Secara umum tujuan utama manusia dalam kegiatan politik berkaitan dengan keinginan bersama untuk menciptakan keteraturan, rasa aman dan kesejahteraan dalam hidup bersama. Tujuan-tujuan itu dicapai dengan menggunakan sistem yang dapat mengorganisir keanekaragaman individu dan kelompok yang memperjuangkannya. Lembaga yang paling mungkin dapat menampung keanekaragaman tersebut adalah organisasi, masyarakat, bangsa, yang pada tingkat tertentu berbentuk sebuah negara.”
”Sehubungan dengan eksistensi umat, keberadaan negara atau pemerintahan dipandang sebagai perkara yang amat fundamental. Ia merupakan bagian dari sistem dan struktur Islam. Islam mengharuskan adanya pemerintahan sebagai salah satu prinsip dasar sistem sosial yang dihadirkan untuk umat manusia. Dengan demikian, setiap muslim harus berupaya menegakkan pemerintahan yang berpijak pada nilai-nilai luhur Islam yang universal. Untuk itu perlu keberlanjutan perjuangan menegakkan pemerintahan yang menerapkan nilai-nilai luhur Islam sebagai sistem politik. Di sini perlu perjuangan konstitusional dalam rangka menegakkan basis demografis sebagai jalan tegakknya pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam: adil, humanis dan universal. Nah, demi mewujudkan beberapa hal tersebut, maka perlu melalui mekanisme, yaitu politik atau kekuasaan negara.”
Selanjutnya, sebelum dilanjutkan ke cerita lanjutan, alangkah bijaknya jika kita pahami juga apa yang disebut dengan Fiqih Politik; sebuah terminologi yang belum saya jelaskan secara tuntas ketika mengisi acara Politic’s Institute. Dalam buku Fiqih Politik Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menjelaskan secara ringkas mengenai politik. Kata fiqih secara bahasa adalah bentuk “mashdar” dari kata kerja lampau yaitu “faqiha.” Arti kata fiqih adalah al-fahmu (pemahaman) dan kecerdasan. Makna fiqih bukan sekedar mengetahui tetapi pemahaman yang mengaharuskan pemakaian akal, menggunakan pemikiran serta mencapai kepada pemahaman itu setelah melalui usaha yang sangat keras. Fiqih menurut istilah tidak dapat diperoleh setiap orang tetapi hanya diperoleh oleh sebagian orang saja, yaitu yang memiliki kemampuan. Coba kita pahami makna yang terkandung di dalam beberapa ayat berikut ini:
“Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Qs. Al-An’am: 98)
Fiqih seperti ini tidak dapat dicapai oleh orang kafir dan orang munafik, Allah berfirman,
“Disebabkan oleh orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (Qs. Al-Anfal: 65)
Tentang orang munafik Allah berfirman,
“Katakanlah, “Api neraka jahanam itu lebih sangat panas, jika mereka mengetahui.” (Qs. At-Taubah: 81)
“Tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (Qs. Al-Munafiqun: 7)
Fiqih dalam istilah syara’ adalah menggali hukum-hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan kata politik dalam bahasa Arab diambil dari kata “saa-saa.” Bentuk fa’ilnya adalah “saa-is” dan bentuk masdarnya adalah “siyasah” yang berarti pemeliharaan. Arti dari kalimat “saa-sa al-umata” adalah memperhatikan urusan umat.
Sedangkan kata “siyasi” atau “politikus” adalah orang yang memperhatikan urusan umat secara mendalam serta menyelesaikannya dengan pendapat-pendapat atau pemikiran-pemikiran yang benar. Jadi, Politikus Muslim adalah seorang muslim yang memiliki komitmen dengan agama Islam yang menyelesaikan urusan-urusan umat Islam sesuai dengan pandangan Islam dan hukum syari’at dan petunjuk-petunjuknya. Demikian sementara penjelasan terkait fiqih politik (siyasah).
Singkat cerita, melelahkan memang, namun saya bahkan semua yang hadir pada agenda tersebut memperoleh banyak keunikan. Bagaimana tidak, sejak awal saya menyampaikan materi sebagian peserta yang ikut--yang hadir sekitar 70 peserta--mengangguk-ngangguk. Saya tak begitu mengerti apakah mereka mengangguk-ngangguk karena mengerti atau tidak. Yang jelas begitu faktanya. Bahkan sejak awal materi beberapa orang peserta pun sudah mengangkat tangan sebagai intrupsi mereka atas apa-apa yang saya sampaikan. Karena memang waktu itu saya sengaja mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menurut saya bisa menabrak apa yang sudah menjadi pemikiran dan pemahaman mereka selama ini. Karena memang yang hadir pada saat itu bukan sekedar kader KAMMI tapi juga dari berbagai latar organisasi. Salah satu yang sangat jujur mengenalkan dirinya waktu itu adalah seorang akhwat (muslimah) Hijbu Tahrir Indonesia (HTI); di mana darinyalah awal--apa yang sebut sebagai--barokah Politic’s Institute diperoleh.
Ceritanya begini. Saya mengisi acara ini mulai pukul 13.00 WIB lebih. Waktu itu saya mengeluarkan beberapa pernyataan yang boleh jadi tidak selalu sejalan dengan pemahaman peserta yang hadir, apalagi kader-kader KAMMI dan HTI. Karena memang politik adalah salah satu aspek yang menjadi fokus garapan kajian mereka. Bahkan respon sosial yang mereka ekspresikan selama ini memang karena mereka memiliki “muyul” yang tinggi terhadap politik. Waktu itu saya mengeluarkan pernyataan dan pertanyaan sebagai berikut, “Politik itu busuk”, “Saya belum menemukan dalil berupa ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan secara langsung kata-kata siyasah (politik), karena itu saya masih belum cukup paham tentang politik dalam pemahaman yang mendalam”. “Saya tak bermaksud meragukan kesempurnaan Islam, karena yang saya maksud adalah keterbatasan saya dalam menemukan dalil tentang politik (siyasah) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”, “Bacakan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang secara teks menggunakan kalimat siyasah, politik”, dan seterusnya.
Selain itu, saya juga sempat menyampaikan, “Politik itu rumit dan merumitkan pikiran. Yang dibutuhkan di sini adalah kecerdasan serta kemampuan menemukan jawaban yang tepat terkait dengan kebingungan tersebut”, “Politik adalah ilmu tentang kemungkinan, karena itu yang dibutuhkan adalah kemampuan analisa yang utuh, agar ia terdefenisi dengan pemaknaan yang mendalam.”
“Di samping itu, setiap orang yang ingin memahami makna politik juga mesti memiliki kekuatan pengetahuan sekaligus referensi semacam pustaka mengenai politik, baik menurut atsar sahabat, tabi’in, ulama-ulama setelah mereka maupun para cendekiawan yang telah mengeluarkan pendapat terkait dengan politik dalam Islam. Usulan saya, silahkan baca buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Siyasah Syar’iyah karya Ibnu Taimiyah, Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Al-Mawardi, Agama dan Negara karya Mohammad Natsir, Muqadimah karya Ibnu Kholdun dan seterusnya.” “Atau teman-teman silahkan baca juga buku-buku Kuntowijoyo seperti, Paradigma Islam (Interpretasi untuk aksi), Identitas Politik Umat Islam. Semuanya diterbitkan oleh Mizan Bandung.” “Buku Dari Gerakan ke Negara-nya Anis Matta juga layak teman-teman baca. Selain itu juga, silahkan baca juga buku Manhaj Haroki 1 dan 2 karya Dr. Munir Al-Ghodban atau Fiqih Politik Hasan Al-Banna karya Dr. Muhammad Abdul Qadir Abdul Faris. Silahkan dibaca dan dipahami!”
“Mengapa saya mengusulkan untuk menggali secara tuntas makna politik dari buku-buku tersebut? Jujur, saya pernah sedikit membaca buku-buku tersebut. Dan saya menduga dengan kuat bahwa buku-buku tersebut adalah referensi yang sangat relevan bagi aktivis bahkan para pengamat politik Islam--atau politik secara umum--dalam memahami politik secara sempurna.”
Singkat cerita, saya pun sampai kepada apa yang saya sebut dengan “Barokah Politic’s Institute”. Sekarang tibalah saatnya sesi diskusi; tanya jawab. Seorang akhwat pun bertanya kepada saya. Seingat saya akhwat tersebut adalah akhwat (Muslimah) HTI. Dia bertanya seputar kekhalifahan, yang saya sederhanakan ke beberapa pertanyaan berikut ini. “Apakah kepemimpinan dengan sistem khilafah itu wajib?”, “Apakah toriqoh dan uslub itu tsawabit atau muthaghoyirat?”, dan seterusnya.
Selanjutnya, waktu itu saya juga mengingat beberapa orang ikhwan (mahasiswa) bagian dari peserta bertanya, “Apakah kepemimpinan setelah khalifah yang empat [Abu Bakar, Umat, Utsman dan Ali] itu sunnah atau ‘bid’ah’?” “Bagaimana pemahaman pemateri sebagai kader KAMMI tentang kekholifahan dalam Islam?” “Bagaimana cara mengkompromikan antara sesuatu yang sifatnya “idealita” dengan “realita” seperti ketika pengharaman khamer (minuman keras) itu bertemu dengan fakta masyarakat yang memiliki pemahaman bahwa hal itu merupakan kebiasaan dan sudah menjadi hal yang wajar di masyarakat?”, dan seterusnya.
Ketika itu saya memberikan jawaban sedanya, sesuai dengan apa yang saya pahami selama ini. “Apapun pertanyaan teman-teman semua, itulah wujud cinta kita kepada agama ini, dinul Islam dengan kemenyeluruhan dan kesempurnaan ajarannya. Selain itu, saya masih belajar, bahkan sampai saat ini masih mendalami beberapa buku yang saya sebutkan di atas tadi. Karena itu, apa yang saya sampaikan saat ini hanyalah pendapat pribadi yang unsur subjektivitasnya cukup besar. Atas dasar itulah saya berharap agar apa yang saya sampaikan ini dikoreksi secara total, biar apa yang kita peroleh dari agenda ini tidak menambah kebingungan; sebaliknya menambah wawasan dan pemahaman kita menuju kebaikan Islam dan kaum muslimin di masa depan. Selanjutnya, mari berdiskusi!”
“Bagi saya, khilafah adalah kekuasaan umum yang paling tinggi dalam Islam. Orang yang menjabatnya disebut sebagai khalifah. Ia memiliki hak dan kewajiban tertentu. Konsep kekhalifahan adalah konsep yang istimewa. Dan dia adalah sesuatu yang tsawabit (baku, tetap) dalam Islam. Ketsawabitannya lebih utama terletak pada prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai utamanya. Dan contoh terbaik yang melakoni semua itu adalah para khalifah empat yang pertama. Sebagai sistem, prinsip dan nilai sistem kekhalifahan yang sudah terjadi pada masa para sahabat itu adalah model bagi kepemimpinan. Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah metodologi, sarana dan cara yang dipakai untuk melahirkan seorang khalifah dalam tampuk kekhalifahan itu baku atau berubah, atau bahkan disesuaikan dengan zamannya.”
“Saya berpandangan bahwa sistem, prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilainya adalah baku. Namun, coba kita komparasikan dengan apa yang terjadi antara keempat khalifah yang pertama dengan setelah mereka. Bentuknya tidak selalu seperti sebelumnya. Bahkan kemudian--menurut sebagian pendapat mengatakan bahwa seakan-akan seperti--dinasti dan kerajaan. Saya masih berkeyakinan bahwa para ulama atau para pemimpin umat ketika itu tidak mungkin bersepakat dengan kemaksiatan atau kesesatan dengan menghadirkan formulasi kekhalifahan. Seandainya mereka memformulasikan bentuk kekhalifahan seperti itu dan itu ternyata tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka sungguh ini merupakan sejarah kelam yang sangat membahayakan. Lalu kepada siapa kita mencari teladan atau memperoleh kebenaran ajaran-ajaran Islam seperti yang kita pahami saat ini? Karena itu sekali lagi, mungkin namanya bukan khalifah tapi isinya adalah sistem, prinsip dan nilai-nilai kekhalifahan. Secara prosedural mungkin tidak khalifah, tapi secara substansi adalah khalifah. Dari situlah saya berpendapat bahwa sistem itu tidak terpaku pada namanya, tapi pada prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai utama yang terdapat bentuk sistem yang ada. Jadi, sistem kekhalifahan itu wajib, tapi dia tidak terpaku pada nama. Hal ini sekaligus sebagai jawaban sederhana saya sebagai kader KAMMI.”
“Lalu terkait dengan toriqoh dan uslub. Toriqoh itu adalah jalan, sementara uslub itu adalah cara. Toriqoh itu misalnya tahapan-tahapan dakwah, sedangkan uslub itu cara. Kira-kira seperti apa saja. Uslub (Cara), misalnya, dengan cara perang, hijrah, delegasi, masuk perlemen atau seperti apa misalnya. Sementara Toriqoh (jalan) adalah sistematika atau pentahapan, yang dalam Ikhwanul Muslimin dikenal dengan istilah Marotibul ‘Amal,” tahapan ‘amal.
“Dalam buku-buku Ikhwanul Muslimin kita dapat penjelasan mengenai Marotibul ‘Amal (tahapan ‘amal) berupa, pembentukan pribadi islami, pembentukan keluarga islami, pembentukan masyarakat islami, perubahn hukum, pembentukan Negara islami, penyatuan Negara-negara Islami dan yang terakhir adalah soko guru peradaban dunia. Dalam HTI kita kenal istilah toriqoh (jalan), yang kalau dikaji secara sederhana tidak begitu jauh bedanya dengan apa yang ada dalam konsep Ikhwanul Muslimin sebagaimana yang saya jelaskan di atas. Artinya, secara prinsipil tidak ada perbedaan. Coba saja kaji kembali beberapa ide, konsep atau sistem yang ditawarkan oleh Harokah tersebut dalam berbagai literature--seperti buku, kitab atau buletin--mengenai gagasan mereka; baik yang ditulis oleh para pengamat maupun tokoh-tokoh mereka. Secara sederhana, dari situ saya berpendapat bahwa tidak ada yang membuat Harokah itu jadi bentrok. Justru yang satu menjelaskan yang lain, begitu juga sebaliknya. Semuanya berujung pada titik yang sama, Kholifah.”
“Dalam konteks bagaimana memahami kepemimpinan, politik dan pasal-pasal duniawi dalam Islam tidak begitu jauh. Bedanya cuma di penyebutan atau pengistilahan, dan tentu beberapa hal lain yang secara umum tidak begitu prinsipil. Begitu juga dengan uslub (cara), tidak begitu berjarak bedanya. Lalu, kalau demikian, mengapa bukan generasi muda Islam ini saja yang menjadi inspirator untuk menghadirkan semua Harokah dan Ormas Islam yang ada untuk duduk bersama, dan membicarakan hal-hal yang memang mesti dibicarakan; terutama terkait kebangkitan umat di masa depan?”
Lalu akhwat dari HTI itu intrupsi. “Akhi, coba dibedakan antara Toriqoh dan Uslub. Saya belum mendapatkan penjelasan yang jelas.” Menjawab intrupsi tersebut, saya pun mengulangi kembali apa yang saya jelaskan di atas. Suasana ruangan semakin ramai. Sayapun memberikan penjelasan dengan sesuatu yang lain. “Teman-teman sekalian, kekhalifahan itu adalah keniscayaan. Dan sekarang kita bertemu (berhadapan) dengan masyarakat bahkan Harokah dan Ormas Islam yang beragam dengan keanekaragaman gagasan dan pemikirannya. Begini saja sekarang, kita kosongkan diri kita dari pemahaman lama atau berdasarkan ijtihad Harokah atau Ormas Islam di mana kita aktif. Terutama teman-teman KAMMI atau HTI. Atau dari mana pun Harokah dan Ormas Islam tempat kita berasal. Sekarang anggap saja Indonesia ini lagi tidak memiliki pemimpin. Kira-kira siapa yang kita pilih menjadi pemimpin, apa namanya, dengan cara apa dan seperti apa? Coba teman-teman baca lagi sejarah mengenai pemilihan khalifah empat yang pertama. Saya tidak perlu menjelaskan terlalu jauh. Cukup teman-teman sendiri yang menyimpulkan.”
“Sebagai tindaklanjut dari penjelasan ini saya ingin mengatakan sesuatu kepada teman-teman bahkan diri saya sendiri. Kita sebagai umat Islam bahkan sebagai sebuah bangsa, selama ini terlalu lama terjebak dengan masalah-masalah prosedural dan tidak menyentuh masalah substansial. Keterasingan kita dengan ilmu menyebabkan kita menjadi komponen yang sering terjebak dalam istilah-istilah tidak secara total, padalah isi atau substansi dari istilah yang berbeda adalah sama. Benar-benar sama. Yang terpenting dari sebuah istilah atau terminologi, terutama terminologi yang sering dipakai dalam dunia Harokah. Saya justru ingin bertanya seperti ini, “Apakah istilah uslub atau toriqoh itu tsawabit?”.
“Teman-teman sekalian, mari kita memahami Islam ini serta isi ajarannya dengan kerangka nalar yang utuh dan mendasar. Apa yang penting dari Islam adalah nama dan prinsip-prinsip serta nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya. Dan itu sesuatu yang baku dalam Islam. Hal ini bisa saya contohkan dalam pasal-pasal mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Semua itu adalah sesuatu yang tsawabit (baku). Yang kemudian para ulama sering mengenalnya sebagai prinsip-prinsip dasar dalam Islam. Lalu berikutnya selain itu adalah urusan muamalah yang secara jelas sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti mengenai pewarisan, pernikahan, jual beli, wakaf dan lain-lain. Lalu berikutnya adalah urusan-urusan muamalah yang secara umum sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi dalam waktu tertentu butuh penalaran akal. Termasuk urusan kepemimpinan, politik dan seterusnya.”
“Nah, sekarang kita berbicara politik. Kalau kita mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka boleh dikatakan bahwa secara prinsipil, kerangka umum terkait dengan hal tersebut sudah ada. Namun, karena dia adalah aspek muamalah yang tak terpisahkan dengan urusan duniwai manusia, maka dalam hal ini manusia sebagai pelaku dan juga objeknya mesti menggunakan akal. Jadi di sini, yang menjadi titik fokusnya adalah ijtihad. Nah, karena dia adalah masuk dalam klasifikasi ini, maka pendapat yang timbul dan muncul darinya pun menjadi beragam. Tentu dengan catatan bahwa hal-hal prinsip tetap terjaga, seperti tidak berlawanan dengan Rukun Iman, Rukun Islam dan hal-hal prinsip lain dalam Islam. Hal-hal prinsip yang sangat terkait dengan politik atau kepemimpinan adalah--paling tidak sebagai berikut--musyawarah, kemaslahatan, penghargaan terhadap akal, argumentasi, keadilan, toleransi dan seterusnya.”
Mengomentari intrupsi akhwat (mahasiswi) HTI tersebut, saya pun memberikan sedikit penjelasan, “saya ingin secara jujur untuk mengatakan bahwa semu kita, tentu sangat merindukan kepemimpinan kekhalifahan. Dan sekarang kita sedang berada dan berhadapan dengan realita bahwa kebanyakan orang--masyarakat, terutama umat Islam tidak mengerti bahkan tidak tahu (atau mungkin tidak mau tahu--dengan apa maunya kita, baik sebagi Harokah maupun sebagai Ormas Islam. Mereka tidak tahu apa maunya kita, apa maunya Harokah Islam. Jangankan berbeda Harokah atau Ormas Islam, sama-sama Harokah dan Ormas Islam juga berbeda pendapat, apalagi kalau tidak terlibat dalam komunitas Harokah dan Ormas Islam. Rumit memang, tapi begitulah faktanya. Apa yang kita sebut sebagai khalifah itu sangat ideal, dan tentu itu menjadi hal yang tak mungkin kita singkirkan dari ruang pikiran, obsesi dan cita-cita kita.”
“Karena itu, saya ingin mengajak kita semua untuk sekali-lagi berpikir sederhana. Mari pahami pesan sejarah di balik keunikan kepemimpinan Islam ketika khalifah yang empat memimpin, atau juga setelahnya. Lebih lanjut, saya mengajak teman-teman semua untuk berpikir sederhana dan mengatakan secara jujur bahwa dalam konteks politik dan kepemimpinan terminologi itu bukanlah segalanya, itu hanya prosedural, sementara yang mesti kita maksimalkan adalah substansinya. Fungsi atau peran kepemimpinan misalnya, dan seterusnya. Uslub, toriqoh, marotibul ‘amal fikroh ataupun istilah lain yang muncul bereserakan hanyalah istilah yang boleh jadi “terjemahan” atau “pemaknaan” bagi masing Harokah atau Ormas Islam berbeda-beda. Namun demikian, saya kembali mengingatkan bahwa substansi dari apa yang dijelaskan dari masing-masing Harokah atau Ormas Islam--minimal yang saya atau mungkin yang pembaca peroleh dari buku-buku mereka--adalah sama. Lagi-lagi, ujung-ujungnya adalah tegaknya Islam, menjadi Soko Guru Peradaban Dunia.”
“Jadi, bagi saya Ikhwanul Muslimin, PKS, HTI, Gema Pembebasan, Muhammadiyah, Nahdhatul ‘Ulama, Persatuan Islam, Persatuan Umat Islam atau yang lainnya adalah saudara KAMMI. Semua yang saya sebutkan atau Harokah dan Ormas Islam yang belum saya sebutkan itu adalah asset umat, kekuatan umat. Mereka bukan siapa-siapa selain bagian yang memiliki tanggung jawab yang sama untuk mengembalikan kejayaan Islam, bukan saja di negeri ini tapi juga ke seluruh penjuru dunia. Nah, sekarang kerjaan atau PR kita adalah menjadi fasilitator sekaligus peserta yang akan menginisiasi untuk mendudukkan semua Harokah dan Ormas Islam yang ada pada ruang yang sama, dan duduk bersama. Kita mesti mencari titik temu di balik keragaman ide besar yang sudah lama menghiasi berbagai macam Harokah dan Ormas Islam yang ada. Kita sama-sama menginginkan khalifah kok, tapi kita perlu obrolin secara matang, dan yang lebih penting lagi bangun pemahaman secara menyeluruh terkait Islam dan sistem-sistem yang terapat di dalamnya. Biar apa yang kita ingin wujudkan, bukan iklan tapi internalisasi secara utuh Islam kepada diri kita sendiri, berikutnya kita bumikan ke seluruh lapisan umat sebagai entitas yang tak terpisahkan dari apa yang kita sebut sebagai komunitas gagasan. Jujur, secara pribadi sangat rindu generasi muda Islam dari berbagai Harokah dan Ormas Islam bisa duduk bersama dan mengawali semua apa yang saya sampaikan tadi. Biar politik yang kita bangun bukan politik kotor sebagaimana yang disinggung oleh tema agenda Politic’s Institut. Begitu, bagaimana…jelaskan? Itu jawaban singkat saya terkait Kekhalifahan yang ditanyakan oleh akhwat HTI dan Ikhwan KAMMI tadi.”
Tanpa aling-aling akhwat HTI yang bertanya tadi pun langsung angkat bicara. Saya tidak begitu ingat kata-kata yang disampaikan oleh akhwat itu pada waktu itu. Yang jelas dia sangat antusias dan semangat bahkan menerima semua apa yang saya jelaskan. Lalu, kalau tidak salah dia langsung mengatakan, “Dari apa yang disampikan oleh pemateri tadi bisa dikatakan bahwa kita memiliki cita-cita mulai, meneggakan panji Allah, Al-Islam. Kita memiliki kewajiban yang sama…. HTI dan KAMMI itu sama. Sama-sama mengusung kepemimpinan umat dengan model khilafah sesuai dengan keadaan di mana kita sekarang. Uslub, toriqoh hanyalah istilah dan bukan substansi. Yang substansi adalah apa isi dari istilah-istilah tersebut seperti yang disampaikan oleh pemateri, akhi tadi…. Pada kesempatan ini saya ingin mengatakan mari tegakkan izah Islam dan kaum muslimin. Tidak ada izah tanpa syari’ah, tidak tegak syari’ah tanpa khilafah. Allahu Akbar!” Yang lain pun ikut bertakbir.
“Selanjutnya saya mencoba untuk memberikan jawaban terkait dengan pertanyaan Akhi Ade dari kampus Universitas Islam Bandung (UNISBA). Teman-teman sekalian, pada prinsipnya, sesuatu yang dijelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka itu adalah sesuatu yang ideal. Dan karena itu ia juga baku (tsawabit). Namun demikian, sesuatu teori, hukum, aturan atau nilai-nilai syari’ah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terkadang bertemu dengan realita yang pragmatis, bahkan bertabrakan langsung dengan apa yang kita sebut sebagai idealita. Nah, sekarang terkait masalah khamer atau minuman keras. Dalam Al-Qur’an sudah jelas. Mungkin yang ingin dibahas pada kontek ini adalah masalah bagaimana mengamalkan ajaran Islam seperti tentang “minuman keras” ini didakwahkan ke ruang publik dengan kondisi yang cukup mengkhawatirkan.” “Sampai ada yang berpendapat, ‘banyak yang mabuk’ dan ‘menganggap itu sudah menjadi kebiasaan’, dan karena itu tidak perlu dilarang.”
“Untuk menjawab permasalahan ini, terutama terkait menjalankan ajaran tersebut dalam kontek politik, di sini saya ingin menjelaskan seperti ini. Teman-teman mungkin pernah membaca bukunya Kuntowijoyo seperti Idenitas Politik Umat Islam atau Paradigma Islam (Interpretasi Untuk Aksi). Dalam kedua buku tersebut kita bisa menemukan penjelasan yang tepat untuk menjawab sekaligus menjelaskan pertanyaan ini. Dari kedua buku tersebut saya memperoleh penjelasan yang kemudian saya elaborasi, lebih jelasnya silahkan baca dalam makalah yang teman-teman baca.”
”Dalam Islam ada ketentuan bahwa orang mesti menetapkan hukum berdasar hukum Allah. Itulah yang menjadi dasar mengapa berbagai negara bermayoritas umat Islam berobsesi untuk menegakkan syari’at Islam. Terkait hal ini, dalam konteks Indonesia dengan berbagai macam sosio-kulturalnya, gagasan (ide) objektivikasinya Kuntowijoyo sangat relevan. Objketivikasi Islam tetap mengakui bahwa al-Qur’an adalah sumber hukum. Perbedannya terletak pada prosedur dan bukan pada hal yang substansial. Objektivikasi Islam akan menjadikan al-Qur’an terlebih dahulu sebagai hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama semua warga negara melalui wakil-wakilnya di Perlemen atau lembaga negara yang berwenang. Dengan demikian tidak serta merta syari’at Islam ditegakkan, karena ia mesti melalui proses objektivikasi. Karena itu, ungkapan menegakkan hukum Allah mesti diobjektivikasi dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, instruksi, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis dan lain-lain. Terkait minuman keras sebagaimana yang disampaikan oleh penanya tadi, maka secara politik kita bisa menyelesaikannya dengan menggunakan teori objektivikasinya Kuntowijoyo tersebut. Kita tidak perlu terjebak dengan hal-hal yang prosedural seperti harus menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai pasal-pasal dalam konstitusi, tapi dengan cara yang lebih sederhana tapi substansial.”
Tanpa bermaksud memperpanjang cerita, namun hal ini perlu saya sampaikan, minimal melalui tulisan ini. Oleh beberapa orang atau oleh sebagian pembaca, mungkin menganggap apa yang disampikan oleh akhwat HTI tadi sebagai keberhasilan dia dalam menguasai forum atau apa yang saya sebut sebagai “dialog”. Tanpa bermaksud memaksakan gagasan pribadi, dari pernyataan akhwat tersebut saya menyimpulkan bahwa sebetulnya antara Ikhwanul Muslimin, HTI, PKS, KAMMI atau beberapa Harokah dan Ormas yang ada itu tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Justru yang terlihat--minimal dari apa yang dismpaikan oleh Akhwat tersebut--adalah persamaan pandangan dan gagasan. Bahkan seketika saya berpikir kalau ke depan KAMMI perlu juga melakukan dialog atau menyelenggarakan dialog terbuka intern Harokah dan Ormas Islam, untuk membahas berbagai permasalahan umat atau bangsa ini. Apalah materinya silahkan dibicarakan, yang penting kita semua memiliki pandangan yang sama, bahwa Islam mesti tegak. Dan saya sangat sepakat, KAMMI mesti mengambil peran-peran itu. Tentu tetap terkoordinasikan dengan sistem atau mekanisme yang dipakai oleh KAMMI.
Selain itu, dari apa yang disampikan oleh ahkwat HTI tersebut adalah salah satu bukti bahwa politik berbasis Islam sekaligus gerakan berbasis ukhuwah (persaudaraan) itu sangat penting dan ternyata menjadi nilai-nilai yang semuanya diusung oleh semua Harokah, minimal perwakilan dari berbagai Harokah dan Ormas Islam yang hadir dalam agenda Politic’s Institute yang diadakan oleh KAMMI UPI tersebut.
Lebih lanjut, saya semakin yakin bahwa apa yang kita sebut sebagai “Paradigma Politik Islam” adalah sebuah terminologi yang layak untuk kita diskusikan secara matang. Sebab, apa yang dibicarakan pada kesempatan tersebut barulah mukadimah atau semacam prolog yang mengawali atau pemantik diskusi, yang insya Allah akan kita lanjutkan pada masa-masa yang akan datang.
Banyak hal saya peroleh bahkan mungkin juga teman-teman panitia dan peserta yang hadir pada saat itu. Ada dialog antar Harokah yang berbasis pada nalar intelektual, ada penguatan barisan generasi masa depan umat dengan penguatan ukhuwah (persaudaraan) dan yang paling penting lagi adanya obsesi bersama untuk duduk bersama dalam sebuah agenda besar dengan rencana agenda “membicarakan masa depan umat Islam dan peradaban dunia.”
Sekedar mengingatkan--karena bagi saya ini penting--ketika itu sebelum mengakhiri pembicaraan sebagai pemateri waktu itu saya sampaikan pernyataan yang saya elaborasi--menjadi--sebagai berikut, “saudara-saudara sekalian, Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali telah lama pergi dan takkan kembali lagi. Tokoh-tokoh umat yang melanjutkan peran-peran mereka juga sudah mendahului kita. Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Mohammad Natsir, Hamka dan juga pejuang-pejuang Islam juga telah lama mendahului kita….Kepemimpinan umat dengan Islam sebagai pijakannya adalah prinsip, dan karena itu adalah keniscayaan bagi kita untuk mewujudkannya. Di manapun kita beraktivitas, apapun latar belakang organisasi, Harokah dan Ormas Islam kita. Khalifah, penegakkan Islam atau apapun terminologi seputar kebangkitan Islam bukanlah hak mutlak isu atau trend satu atau dunia komunitas Harokah dan Ormas Islam. Ia adalah hak semua umat Islam. Dari mana dan di mana pun mereka berasal dan beraktivitas…. Renungilah bahwa para ulama di masa lalu sudah memberikan yang terbaik bagi kita bahkan Islam. Hal itu bisa kita lihat buku-buku biografi atau kitab-kitab yang mereka tulis. Mereka telah memberi apa yang mereka punya, dan melakukan apa yang mereka bisa. Kerja kita sekarang adalah melanjutkan apa-apa yang terbaik di masa lalu itu, dan memformulasikannya di masa kini.”
“Khalifah itu bukan iklan atau sekedar trend politik dan isu besar gerakan. Namun ia adalah kerja-kerja kecil. Ia adalah kerja-kerja sederhana. Masihkah kita ingat sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa jika menginginkan kekhalifahan maka jadikanlah nilai-nilai kekahlifahan itu pada dirimu, maka niscaya kekhilafahan akan terwujud? Semua peserta ikhwan (mahasiswa) yang hadir di sini memiliki bakat untuk menjadi kholifah, dan akhwat (mahasiswi) tidak memiliki bakat itu; dan wanita memang tidak memiliki bakat dan peluang untuk menjadi khalifah. Namun, percayalah bahwa khalifah itu bukan lahir di mana-mana dan jangan mencarinya di mana-mana. Kita memiliki bakat yang sama untuk menjadi khalifah, namun janganlah kiranya mencari dan membentuk kapasitas khalifah itu kepada selain diri kita. Karena sekali lagi, kita memiliki bakat yang sama untuk itu, kita memiliki peluang yang sama untuk itu. Dan janganlah kiranya mengharapkan hadir dan lahirnya di luar sana, karena ia akan lahir dari ruang ini. Ia adalah aku, kau dan dia. Tapi kalau kita tidak menemukan diri kita dengan takdir sebagai khalifah, maka--walau akhwat (mahasiswi) yang hadir di sini tidak memiliki bakat dan peluang menjadi khalifah--biarlah mereka yang akan melahirkan khalifah itu kelak. Dan itu adalah takdir terbaik yang sama-sama kita mimpikan. Menjadi Ibu Khalifah dan Ayah sang khalifah. Sehingga apa yang kita sebut sebagai politik Islam benar-benar menjadi trend peradaban yang implementatif. Selain itu ia benar-benar menjadi warna baru bagi proposal kita dalam menaklukan peradaban dunia dengan Islam. Allahu Akbar!”
Demikian sedikit catatan saya mengenai apa yang saya alami atau fenomena yang terjadi dan “bonus” yang saya peroleh dari kegiatan Politic’s Institute KAMMI UPI pada Sabtu/6 Maret 2010. Jujur, banyak hal-hal istimewa yang saya temukan dan dapatkan. Nah, untuk menyederhanakan semua itu, secara tulus, saya lebih senang menyebutnya sebagai “Barokah Politic’s institute”. Lebih dari sekedar relevan, judul “Barokah Politic’s Institute (Refleksi atas dialog singkat ‘HTI’ dan ‘KAMMI’) adalah sebuah kenangan terindah yang tidak akan saya lupakan. Selamat mengambil hikmah!